Sabtu, 21 Mei 2011

Penyakit Organisasi

Organisasi merupakan sekumpulan orang yang memiliki tujuan bersama. Untuk mengatur pencapaian tujuan maka perlu diatur mekanisme pembagian tugas, pembagian wewenang, dan siapa yang bertanggung jawab, agar setiap organ/alat di dalam organisasi itu bertindak dan berperilaku yang sejalan dengan misi, maksud, dan tujuan organisasi.
Menjalankan roda organisasi tentunya akan menemui halangan dan rintangan. Sebuah organisasi yang matang dan berpengalaman, membekali para kadernya dengan cara-cara menghindari, menghadapi, dan menyelesaikan permasalahan yang ditemui. Untuk itulah, organisasi yang sehat tentunya memiliki sistem (aturan main) yang berguna sebagai pedoman ketika menjalankan program dan kegiatan, dan ketika menyelesaikan konflik. Sehingga, sistem atau peraturan itu dibuat tidak saja sekedar untuk mengikat para anggota untuk patuh, namun juga menawarkan solusi (penyelesaian) apabila terjadi konflik.
Ada beberapa penyakit dalam organisasi yang apabila penyakit ini berkembang dan meluas akan menjadi penghambat organisasi. Mulanya penyakit-penyakit ini ditunjukkan lewat gejala-gejala yang bisa langsung terdeteksi maupun tidak. Namun apabila penyakit ini sudah mengidap di tubuh organisasi maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada organisasi, bahkan kematian. Penyakit-penyakit ini harus dihindarkan sehingga bisa meminimalisir biaya dan kerugian yang mesti ditanggung apabila penyakit-penyakit ini sudah menular.
Beberapa penyakit di dalam organisasi, yaitu:
1.  Tujuan telah ditetapkan, namun tidak dirumuskan secara jelas dan rinci.
2.  Aturan dan tujuan telah ditetapkan, namun individu masa bodoh/tidak patuh pada aturan.
3.  Pembagian tugas dan wewenang yang tidak tuntas, atau tidak jelas.
4.  Para pengambil keputusan yang tidak memahami aturan dan tujuan organisasi.
5.  Mekanisme pengambilan keputusan yang tidak matang, masih bersifat subyektif.
6.  Perasaan bahwa bidang/divisinya yang paling penting.
7.  Tidak seimbangnya tanggung jawab dg wewenangnya.
8.  Semata-mata bekerja sesuai dengan tugasnya saja tanpa kerjasama antar divisi/bidang.
9.  Merasa pintar alias sok tahu, hanya menjadi penonton
10. Bukannya ikut berpartisipasi dan memberi contoh yang lebih baik, tetapi malah menjadi penonton dan komentator. Selengkapnya...

SEJARAH 10 PERGURUAN HISTORIS IPSI

ipsi.gif
 
Pasca penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia (dulu masih bernama RIS-Republik Indonesia Serikat) tanggal 27 Desember 1949, pusat Pemerintahan Republik Indonesia berpindah tempat dari Yogykarta kembali ke Jakarta. Sebelumnya, selama empat tahun Yogyakarta pernah menjadi ibukota Republik Indonesia, yaitu resminya sejak 4 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949. Perpindahan pusat pemerintahan tersebut diikuti dengan perpindahan kantor kementerian, dan kantor-kantor atau instansi milik pemerintah.
Demikan pula pada tahun 1950 Pengurus Besar IPSI secara de facto juga berpindah tempat dari Yogyakarta ke Jakarta, sekalipun tidak semua anggota pengurus-pengurus Ikatan Pencak Silat Indonesia dapat ikut pindah ke Jakarta. Waktu itu IPSI baru 2 tahun berdiri, yaitu sejak didirikan pada tanggal 18 Mei 1948 di Surakarta, oleh Panitia Persiapan Persatuan Pencak Silat Indonesia, yang menetapkan Mr. Wongsonegoro sebagai Ketua PB.IPSI. Saat IPSI berdiri, Republik Indonesia sedang dalam masa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan memantapkan kedaulatan Republik Indonesia, yang harus ditempuh melalui perjuangan baik secara fisik maupun diplomasi. Kondisi ini juga mengakibatkan IPSI yang masih berusia muda harus mengkonsentrasikan pengabdiannya kepada perjuangan kemerdekaan, sehingga kondisi manajerial dan operasional IPSI kala itu mau tidak mau mengalami penyusutan.

Di sisi lain, Pemerintah Pusat RI kala juga sedang menghadapi pemberontakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia ( DI/TII ) di beberapa daerah, termasuk di Jawa dan Lampung. Untuk menambah kekuatan dalam melawan DI/TII tersebut, Panglima Teritorium III waktu itu, Kolonel (terakhir Letnan Jenderal) R.A. Kosasih, dibantu Kolonel Hidayat dan Kolonel Harun membentuk PPSI (Persatuan Pencak Silat Indonesia), yang kala itu didirikan untuk menggalang kekuatan jajaran Pencak Silat dalam menghadapi DI/TII yang berkembang di wilayah Lampung, Jawa Barat (termasuk Jakarta), Jawa Tengah bagian Barat termasuk D.I. Yogyakarta.

Setidaknya dalam kondisi tersebut timbulah dualisme dalam pembinaan dan pengendalian Pencak Silat di Indonesia, yaitu Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) dengan konsentrasi lebih banyak dalam hal pembinaan pada aspek Olah Raga, sedangkan Persatuan Pencak Silat Indonesia (PPSI) lebih banyak membina pada aspek seni pertunjukan (ibing Pencak Silat) dan Pencak Silat bela diri untuk melawan DI/TII. Selain dua organisasi, IPSI dan PPSI ini, juga terdapat beberapa organisasi lain seperti Bapensi, yang masing-masing berupaya merebut pengaruh sebagai induk pembinaan pencak silat di Indonesia.

Sementara itu IPSI harus berjuang keras agar pencak silat dapat masuk sebagai acara pertandingan di Pekan Olahraga Nasional. Hal serupa juga dilakukan oleh PPSI yang setiap menjelang PON juga berusaha untuk memasukkan pencak silatnya agar dapat ikut PON. Namun Pemerintah, yang pada tahun 1948 juga ikut berperan mendirikan IPSI, hanya mengenal IPSI sebagai induk organisasi pencak silat di Indonesia.

Kala itu induk organisasi olahraga yang ada adalah KOI (Komite Olimpiade Indonesia) diketuai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan PORI (Persatuan Olahraga Republik Indonesia) dengan Ketua Widodo Sosrodiningrat.Di tahun 1951, PORI melebur kedalam KOI. Tahun 1961 Pemerintah membentuk Komite Gerakan Olahraga (KOGOR) untuk mempersiapkan pembentukan tim nasional Indonesia menghadapi Asian Games IV di Jakarta. Kemudian di tahun 1962 Pemerintah untuk pertama kalinya membentuk Departemen Olahraga (Depora) dan mengangkat Maladi sebagai menteri olahraga. Selanjutnya di tahun 1964 Pemerintah membentuk Dewan Olahraga Republik Indonesia (DORI), yang mana semua organisasi KOGOR, KOI, top organisasi olahraga dilebur ke dalam DORI.

Pada tanggal 25 Desember 1965, IPSI ikut membentuk Sekretariat Bersama Top-top Organisasi Cabang Olahraga, yang kemudian mengusulkan mengganti DORI menjadi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang mandiri dan bebas dari pengaruh politik, yang kemudian kelak pada 31 Desember 1966 KONI dibentuk dengan Ketua Umum Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Maka kala itu IPSI juga ikut memegang peranan penting dalam sejarah pembentukan KONI sehingga kelak menjadi induk organisasi olahraga di Indonesia.

Menjelang Kongres IV IPSI tahun 1973 beberapa tokoh Pencak Silat yang ada di Jakarta membantu PB IPSI untuk mencari calon Ketua Umum yang baru, karena kondisi Mr. Wongsonegoro yang pada saat itu sudah tua sekali. Salah satu nama yang berhasil diusulkan adalah Brigjen.TNI Tjokropranolo (terakhir Letjen TNI) yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sekalipun kelak kemudian pada Kongres IV ini beliau terpilih sebagai Ketua Umum PB IPSI, namun jalan bagi Brigjen.TNI. Tjokropranolo tidaklah semudah yang dibayangkan. Masih banyak tugas dan tanggung jawab  PB IPSI yang kelak harus dihadapi dengan serius. Disamping itu PB IPSI pun perlu merumuskan jati dirinya secara lebih aktif, disamping merumuskan bagaimana mempertahankan eksistensi dan historis IPSI dalam langkah pembangunan nasional.
 
Karena itu kemudian Brigjen.TNI. Tjokropranolo dibantu oleh beberapa Perguruan Pencak Silat yaitu:
  • dari Tapak Suci Bapak Haryadi Mawardi, dibantu Bpk. Tanamas;
  • dari KPS Nusantara Bp. Moch Hadimulyo dibantu Bp. Sumarnohadi, Dr. Rachmadi, Dr. Djoko Waspodo;
  • dari Kelatnas Perisai Diri Bp. Arnowo Adji HK;
  • dari Phasadja Mataram Bp. KRT Sutardjonegoro;
  • dari Perpi Harimurti Bp. Sukowinadi;
  • dari Perisai Putih Bp.Maramis, Bp. Runtu, Bp. Sutedjo dan Bp. Himantoro;
  • dari Putera Betawi Bp.H. Saali;
  • dari Persaudaraan Setia Hati Bp. Mariyun Sudirohadiprodjo, Bp. Mashadi, Bp. Harsoyo dan Bp.H.M. Zain;
  • dari Persaudaraan Setia Hati Terate Bp. Januarno, Bp. Imam Suyitno dan Bp. Laksma Pamudji.

Salah satu tantangan yang cukup berarti saat itu adalah belum berintegrasinya PPSI ke dalam IPSI. Kemudian atas jasa Bapak Tjokropranolo berhasil diadakan pendekatan kepada 3 (tiga) pimpinan PPSI yang kebetulan satu corps yaitu Corps Polisi Militer. Sejak itu PPSI setuju berintegrasi dengan IPSI, kemudian Sekretariat PB IPSI di Stadion Utama dijadikan juga sebagai Sekretariat PPSI. Pada Kongres IV IPSI itulah kelak kemudian, H. Suhari Sapari, Ketua Harian PPSI datang ke Kongres dan menyatakan bahwa PPSI bergabung ke IPSI.

Kongres IV IPSI tahun 1973 menetapkan Bp. Tjokropranolo sebagai Ketua PB. IPSI menggantikan Mr. Wongsonegoro. Mr. Wongsonegoro telah berjasa mengantarkan IPSI dari era perjuangan kemerdekaan menuju era yang baru, era mengisi kemerdekaan. Saat inilah seolah IPSI berdiri kembali dan lebih berkonsentrasi pada pengabdiannya, setelah sebelumnya melalui masa-masa perang fisik dan diplomasi yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Di bawah kepemimpinan Bapak Tjokropranolo ini IPSI semakin mantap berdiri dengan tantangan-tantangan yang baru sesuai perkembangan zaman. Pada Kongres IV IPSI itu pun sepuluh perguruan yang menjadi pemersatu dan pendukung tetap berdirinya IPSI diterima langsung sebagai anggota IPSI Pusat, dan kemudian memantapkan manajemen, memperkuat rentang kendali PB IPSI sampai ke daerah-daerah, dan mempersatukan masyarakat pencak silat dalam satu induk organisasi. Untuk selajutnya Bapak Tjokropranolo menegaskan bahwa 10 (sepuluh) Perguruan Silat tersebutlah yang telah berhasil bukan sekedar menyusun bahkan juga melaksanakan program-program IPSI secara konsisten dan berkesinambungan.

Maka selanjutnya yang dimaksud dengan sepuluh perguruan tersebut adalah:
  1. Tapak Suci,
  2. KPS Nusantara,
  3. Kelatnas Perisai Diri,
  4. Phasadja Mataram,
  5. Perpi Harimurti,
  6. Perisai Putih,
  7. Putera Betawi,
  8. Persaudaraan Setia Hati,
  9. Persaudaraan Setia Hati Terate,
  10. Persatuan Pencak Seluruh Indonesia (PPSI).

Pada waktu kepemimpinan Bapak. H. Eddie M. Nalapraya nama kelompok 10 (sepuluh) Perguruan Silat anggota IPSI Pusat tersebut diubah menjadi 10 (sepuluh) Perguruan Historis, setelah sebelumnya sempat istilahnya disebut sebagai  Top Organisasi, atau Perguruan Induk kemudian menjadi Perguruan Anggota Khusus karena keanggotannya di IPSI Pusat menjadi anggota khusus. Di dalam setiap Munas IPSI maka Perguruan Historis ini selalu menjadi peserta dan memiliki hak suara di dalam Munas.

***
Selengkapnya...

Mengapa digunakan body protector ?

Sudah menjadi kenyataan bahwa Pencak Silat telah dipertandingkan sebagai sebuah cabang olahraga. Pencak Silat diakui dan diterima menjadi sebuah cabang olahraga prestasi karena Pencak Silat dapat ditampilkan sebagai kegiatan pendidikan jasmani dan kompetitif yang aturannya terorganisir. Salah satu ciri dari olahraga yang baik yaitu olahraga tersebut tidak rawan cedera. Melihat hal ini maka diperlukan suatu sistem pertandingan sedemikian rupa sehingga Pencak Silat dapat ditampilkan sebagai olahraga yang menunjang kesehatan jasmani, kompetitif, dan tidak rawan cedera. Salah satu dari implementasi sistem pertandingan olahraga Pencak Silat itu adalah para pesilat yang bertanding wajib memakai pelindung badan (body protector).


Pada masa guru-guru kita dulu, pertandingan Pencak Silat masih menggunakan sistem full-body contact dan tanpa aturan yang ketat. Dalam pertandingan ini tidak mengenal ronde, tidak mengenal batas waktu. Siapa yang tidak dapat melanjutkan pertarungan atau menyerah, dialah yang kalah. Tak jarang jika pertandingan semacam ini akhirnya menimbulkan cedera yang parah bahkan kematian. Hal ini dapat dimaklumi bahwa pada jaman itu orang belum menjadikan Pencak Silat sebagai cabang olahraga yang resmi. Pada jaman itu orang menggunakan Pencak Silat untuk membela diri. Karena itu panggung adu kaweruh bisa digelar secara tertutup ataupun menjadi tontonan orang ramai di pasar, dengan aturan yang sangat sederhana: "tanpa peraturan".

Dari kondisi yang demikian akhirnya lambat laun mendorong kesadaran bahwa selain sebagai seni beladiri, Pencak Silat juga dapat ditampilkan sebagai olahraga yang bisa dipertandingkan dan diperlombakan apabila faktor resiko cedera berat, cacat, atau bahkan kematian, dapat dihindari.

Beberapa uji coba pun dilakukan di berbagai daerah dan pusat. Di tahun 1957 sempat diadakan uji coba pertandingan di Stadion Kalisari, Semarang, dimana pada uji coba ini memang tidak ditemui cedera yang parah. Namun uji coba di tempat lain tidak begitu berhasil, karena disamping peraturan yang masih sangat longgar, para pesilat juga tidak menggunakan pelindung badan sehingga kontak fisik antar pesilat tidak dibatasi.

Jika PON ke-1 tahun 1948 sampai PON ke-VII tahun 1969 Pencak Silat ditampilkan dalam bentuk demonstrasi dan eksibisi, maka sejak tahun 1969 diusahakan agar Pencak Silat dapat tampil di PON sebagai olahraga & pertandingan. Pada tahun 1973, dengan diusulkan oleh 10 Top Organisasi di IPSI, dipersiapkanlah sistem pertandingan dengan menggunakan body protector dan sistem pertandingan yang lebih baik. Pada PON VIII tahun 1973 di Jakarta, Pencak silat untuk pertama kali tampil sebagai cabang olahraga prestasi dan dipertandingkan secara nasional.

Keaslian Tradisi Sabung Terikat TAPAK SUCI
Adapun pada Perguruan TAPAK SUCI, sejak kejuaraan nasional pertama di tahun 1967 memang tidak menggunakan pelindung badan dalam pertandingan olahraga. Tapi sesuai dengan kebutuhan dan penyesuaian jaman, sebagai sebuah olahraga prestasi TAPAK SUCI berketetapan untuk menerapkan penggunaan pelindung badan pada pertandingan olahraga TAPAK SUCI. Apalagi hal ini juga untuk membiasakan atlet beradaptasi dengan penggunaan body protector seperti pada pertandingan di IPSI.
TAPAK SUCI tetap mempertahankan tradisi adu kaweruh, dan mempertahankan kaidah pencak silat dalam hal Sabung Terikat maupun Sabung Bebas. Jika membicarakan pertandingan olahraga maka kita mesti kembali kepada pemahaman bahwa sabung (pertandingan) olahraga bukanlah termasuk kategori Sabung Bebas, melainkan Sabung Terikat.
Jika kita berpijak kepada kaidah sabung terikat, pertandingan olahraga TAPAK SUCI yang asli itu sesungguhnya sudah menerapkan kaidah-kaidah sabung olahraga yang tidak rawan cedera. Dalam kaidah TAPAK SUCI mengenai Sabung Terikat digariskan bahwa setiap pesilat melakukan lontaran paling banyak tiga  lontaran, lalu setelah itu masing-masing pesilat kembali ke titik awal dan bersiap dengan melakukan Sikap Pasang. Apapun jenis lontaran dan hindaranya, apapun pole serang-bela yang diterapkan, jika kita kembali kepada aturan yang demikian maka akan nampak kerapihan dan kesempurnaan teknik sabung dari tiap-tiap pesilat. Kaidah inipun dapat meminimalisir kemungkinan penggunaan tenaga yang tidak terkendali. Masing-masing pesilat tidak lagi melancarkan serangan yang bertubi-tubi, dengan tenaga yang tidak terkendali. Wasit juga akan lebih mudah memberi penilaian dengan seksama. Kiranya inilah jasa para pendahulu TAPAK SUCI yang menitikberatkan aspek kerapihan dan kesempurnaan teknik dalam sabung olahraga. Penampilan pertandingan olahraga Pencak Silat pun dapat lebih dinikmati, bukan lagi sekedar pukulan bertubi-tubi dalam mengejar point atau waktu. Namun sayangnya dalam masa pelatihan para atlet TAPAK SUCI itu terpacu dengan apa yang berlaku umum di gelanggang, atau oleh pertunjukan-pertunjukan pertarungan yang bebas dan keras.

Hal inilah yang mesti dipahami dan dilestarikan oleh para atlet TAPAK SUCI. Sehingga dengan demikian akan tampak kaidah pencak silat khas TAPAK SUCI. Pertandingan olahraga pun dapat tersaji dengan lebih menarik dan tidak rawan cedera,  karena TAPAK SUCI adalah olahraga yang memiliki kaidah dan olahraga yang tidak rawan cedera. (MIR)
Selengkapnya...